Dalam sebuah
diskusi tentang menulis di sebuah grup Whatsapp, ada salah seorang
teman yang bertanya, “Kalau di dalam Al-Quran ada perintah membaca dengan
firman Allah ‘Iqra!’ (bacalah!) apakah ada juga perintah untuk menulis?”
Wah, ini
pertanyaan sederhana tapi untuk menjawabnya perlu membuka Al-Quran terlebih
dahulu. Maka, saya pun memanfaatkan sebuah perangkat lunak (software)
untuk mencari sebuah kata dalam Al-Quran. Kemudian mulai searching
(mencari) kata ‘menulis’. Bingo, ketemu. Ada kata ‘Uktubuu!’ yang
artinya ‘maka tuliskanlah!’ Istimewanya, kata ini terdapat pada ayat terpanjang
di antara semua ayat Al-Quran, yaitu di ayat 282 surat Al-Baqarah. Ayat ini
panjangnya menghabiskan satu halaman mushaf.
Walaupun
perintah menulis dalam ayat tersebut spesifik untuk menuliskan hal-hal yang
bersifat administratif, justru ini menjadi penekanan akan pentingnya pekerjaan
menulis tersebut. Menulis, dalam hal ini untuk menjaga hal-hal yang tidak
diharapkan terjadi dalam hubungan perjanjian antara dua manusia. Supaya lebih
jelas posisi aktivitas menulis dalam ayat 282 tersebut, baiknya kita baca
keseluruhan ayat tersebut secara lengkap.
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah (jual-beli, utang-piutang,
sewa-menyewa, dll.) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu 'amalahmu itu), kecuali jika mu 'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS.
Al-Baqarah: 282)
Panjangnya ayat
ini menjelaskan pentingnya urusan administrasi dalam sebuah perjanjian. Dan
inti dari pekerjaan administrasi adalah pekerjaan TULIS-MENULIS. Dengan adanya
kesepakatan tertulis, hal-hal yang tidak diinginkan terjadi dalam sebuah
perjanjian bisa dihindari. Sehingga, menulis menjadi sesuatu yang tidak bisa
dianggap enteng.
Islam sangat
memandang pentingnya aktivitas menulis selain membaca. Ketika terjadi perang
Yamamah, banyak yang syahid dari kalangan kaum muslimin. Dan yang mereka
yang syahid tersebut kebanyakan para penghafal Al-Quran. Saat itu
Al-Quran belum ditulis dalam arti dikumpulkan menjadi sebuah kitab. Ketika
Rasulullah menyampaikan wahyu, para sahabat hanya menghafalkannya dan ada juga
yang menuliskannya di daun lontar, tembikar atau benda apa pun yang bisa dijadikan sebagai media tulis.
Nah, setelah
perang Yamamah, saat para penghafal Al-Quran banyak yang meninggal (syahid),
Abu Bakar Ash-Shidiq yang saat itu menjabat sebagai Khalifah, merasa cemas akan
hilangnya ayat-ayat Al-Quran. Maka, dia pun ber-ijtihad atau mengambil
keputusan untuk menuliskan ayat-ayat Al-Quran yang berceceran itu dan
mengumpulkannya menjadi sebuah mushaf (kitab). Peristiwa ini menunjukkan
pentingnya aktivitas menulis. Dengan menuliskannya menjadi sebuah mushaf, kita
sekarang dapat membaca Al-Quran secara lengkap dan mudah.
Begitu juga
dengan hadits. Apa pun yang dikatakan
(diperintahkan) dan diperbuat oleh Rasulullah SAW yang harus kita ikuti dan
jadikan acuan dalam beraktivitas, menjadi tersampaikan kepada kita karena jasa
para periwayat hadits, yang telah menuliskannya. Walaupun perkataan dan
perbuatan Rasulullah SAW itu terjadi lima belas abad yang lalu.
Selain itu,
dengan menuliskannya, orisinalitas atau keotentikan Al-Quran dan Hadits dapat
selalu terjaga sepanjang masa. Ayat Al-Quran yang kita baca hari ini sama
dengan yang dibaca oleh para sahabat dahulu ketika mereka mendengar langsung
dari Rasulullah SAW. Begitu pun dengan hadits. Orisinalitas Al-Quran dan hadits
ini akan terus terjaga sampai kapan pun. Dan, ini karena aktivitas MENULIS.
Rasulullah SAW
pun secara jelas memerintahkan menulis, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Silsilah
Ash-Shahiihah (hadits no. 2026). Beliau bersabda, “Ikatlah ilmu dengan
menuliskannya.”
Perintah menulis
secara jelas sudah ada dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Jadi, apalagi yang
menghalagi kita untuk menulis? Semoga ini menjadi motivasi dan penambah
semangat bagi kita untuk menulis.
Penulis : Urip Widodo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar