Dewasa ini problematika pendidikan semakin kompleks. Hal ini dikarenakan out-put lembaga-lembaga
pendidikan sekarang hanya berfokus pada aspek
kognitif saja, sedangkan aspek
afektif dan psikomotor sangat kurang
mendapat perhatian dari pihak yang mengawasinya. Seakan-akan
pelajar saat ini hanya tergerak untuk
mendapat nilai yang tinggi. Dan yang lebih parahnya lagi untuk mendapatkan
hasil yang demikian ini mereka rela mencontek, menjiplak. Bahkan guru pun ikut
andil didalamnya. Problem ini disebabakan oleh moderenisasi dunia pendidikan yang mana dalam hal ini bentuk daripada kemajuan teknologi yang
begitu cepat sehingga semua informasi dapat diakses begitu mudah.
Pengaruh moderenisasi pendidikan inilah yang kemudian muncul paradigma dikotomi ilmu atau dualisme. Yang kemudian output dari lembaga pendidikan yang ada sekarang cenderung mengedepankan aspek kognitif. Tentunya, pemahaham ini tidak sejalan dengan konsep pendidikan Islam yang bertujuan menciptakan akhlaq mulia dan menjadikan manusia sebagai insan kamil. Oleh sebab itu banyak ulama muslim yang mencoba menguaraikan tentang definisi ilmu pengetahuan dalam mengahadapi tantangan moderenisasi.
Diantara
ulama muslim yang berbicara tentang hal ini ialah Abu Hamid bin Muhammad
bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali al-Thusi atau Imam Al-Ghazali. Beliau lahir
pada tahun 450 H/1058 M , di desa Ghazlah Thabran, wilayah Khurasan Iran. Al-Ghazali
dikenal sebagai sosok intelektual muslim yang cerdas, brilian, tawadhu,
bijaksana, sangat mencintai dan haus terhadap ilmu pengetahuan. Oleh karena itu,
al-Ghazali digelari sebagai Hujjatul Islam, karena kepiawaiannya dan
keahliannya dalam berbagai disiplin ilmu (multi disipliner). Selanjutnya al-Ghazali
belajar ilmu fiqh kepada Yusuf an-Nassaj yang juga seorang sufi. Setelah tamat,
ia melakukan pelajarannya ke Kota Jurjan.
Al-Ghazali
membagi ilmu secara umum menjadi dua yaitu ilmu muamalah dan ilmu mukasyafah.
Sedangkan, ilmu muamalah ini
dikelompokkan menjadi dua ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah. Ilmu fardhu ain
yang dimaksud oleh Ghazali adalah ilmu yang yang harus dipelajari terlebih
dahulu dalam kaitannya disini seperti ilmu tauhid, ilmu fiqh, ilmu ushul fiqh
dan ilmu yang lainnya yang merupakan landasan dalam beragama. Selanjutnya, ilmu
fardhu kifayah, ilmu ini kaitannya dengan sifat sosial yang apabila ada
beberapa diantara suatu kaum maka yang lain tidak wajib mempelajarinya. Seperti
ilmu untuk kemaslahatan dunia, seperti ilmu kedokteran dan ilmu matematika.
Ghazali
telah berusaha mengkalsifikasikan ilmu secara hirarki yang artinya bahwa sumber
ilmu adalah Allah dan tidak ada pemisahan antara ilmu Agama dan ilmu alam. Ia
juga menentukan nilainya sesuai dengan tingkat manfaat dan bahaya yang
ditimbulkannya dalam hubungannya dengan tugas dan tujuan hidup manusia dalam
mewujudkan tatanan kehidupan dunia untuk mencapai tujuan hidup manusia itu
bahagia di dunia dan akhirat. Segala tujuan manusia itu terkumpul dalam agama
dan dunia. Dan agama tidak terorganisasikan selain dengan terorganisasinya
dunia.Pemikiran ini setidak-tidaknya akan memberikan dorongan kepada masyarakat
untuk menguasai ilmu pengetahuan.
Dari
prinsip-prinsip klasifikasi ilmu yang dilakukan oleh Ghazali dapat diturunkan konsep
bagunan keilmuan (body of knowledge), yaitu aksiologi, ontologi,
epistemelogi.
1. Epistemelogi, adalah cabang
filsafat yang memepelajari bagaimana memperoleh ilmu pengetahuandan bagaimana
ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan itu. Epistemelogi dibagi menjadi dua
syariah dan ghoiru syariah
2. Ontologis, yaitu cabang filsafat yang
mempelajari yang nyata atau wujud. Ontologi dibagi menjadi dua fardhu ain
dan fardhu kifayah
3. Aksiologis, yaitu cabang filsafat
yang membicarakan tentang nilai-nilai terhadap sesuatu. Aksiologi dibagi menjadi tiga terpuji
(mahmudah), boleh (mubah) dan tercela (madmumah).
Dewasa ini banyak kritikus menuduh
bahwa salah satu penyebabnya kemerosotan ilmu Islam adalah pemikiran sufistik
Al-Ghazali sekaligus gagasannya tentang dikotomisasi ilmu dunia dan ilmu
akhirat. Sehingga masyarakat terbuai dengan ilmu-ilmu agama dan mengacuhkan kategori
ilmu rasional. Padahal, sebenarnya pemikiran para cendikiawan muslim (termasuk
Al-Ghazali) pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari kemajuan umat Islam
yang ada di zamannya, bahkan merupakan motivasi dan etos kerja bagi umat Islam
periode klasik.
Masih sekitar empat abad kemudian
setelah al-Ghazali meninggal, ternyata peradaban dan kemajuan umat Islam masih
mendominasi peradaban dunia. Kalaulah pengaruh Al-Ghazali menjadi penyebab
kemunduran umat Islam, bagaimanapun kemunduran itu akan terlihat sesudah ia
meninggal, dan sulit bertahan sampai abad ke-15. Kalau diilihat dari pendekatan
sosiokulturalnya, umat Islam pada masa lalu dalam masa kejayaannya tidak
memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Seluruh pengetahuan berasal dari
Tuhan, oleh karena itu harus dipelajari oleh umat Islam.
Di antara ulama tidak ada yang
membantah akan pentingnya ilmu kedua macam ilmu tersebut untuk selalu
dipelajari. Baru setelah timbul kekhawatiran di kalangan umat Islam akan
kecenderungan melupakan ilmu agama, para ulama seperti Al-Ghazali, seorang
tasawuf mengkritik Ibnu Rusyd karena terlalu menggunakan rasio dari pada wahyu
dalam proses menemukan yang hakiki. Yakni pengembalian atau pemurnian ilmu
pengetahuan pada prinsip-prinsip yang hakiki, yakni prinsip at-tauhid, prinsip
kesatuan makna kebenaran, dan prinsip kesatuan sumber ilmu pengetahuan.
Pada dasarnya di dalam agama Isalam tidak pernah terjadi dikotomi ilmu, karena semua ilmu berasal dari satu sumber yaitu dari Allah yang kemudian diturunkan kepada para nabi selanjutkan disampaikan kepada umat manusia. Sehingga konsep ilmu dalam Islam sesungguhnya berbasis pada silsilah keilmuan atau bisa disebut dengan Sanad . jadi hal inilah yang membedakan konsep ilmu dalam Islam dengan konsep lainnya.
Penulis: Zaky Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar