Akhir-akhir ini, menjalani
profesi sebagai guru, bukan lagi sesuatu yang menyenangkan untuk
dilaksanakan penuh khusuk, ikhlas dan kegembiraan. Ancaman akan diadukan secara
hukum oleh para orang tua atau keluarga anak didik selalu menghadang. Tentu
saja,sikap anarkisme para orang tua itu bukan hanya merugikan para pahlawan
tanpa tanda jasa itu, tetapi bisa merugikan
anak didik itu sendiri.
Miris,mendidik dengan gaya mencubit, memukul pada bagian yang dibolehkan tetap dinilai salah. Dimata para orang tua menyentuh fisik anak sebagai upaya mendidik atau pembinaan ditafsirkan sebagai tindakan ‘penganiayaan’ yang tentu sangat melanggar etika.
Sebagai guru yang setiap harinya
beradaptasi dengan anak didik atau murid, tentu mereka tahu wilayah-wilayah
yang dibolehkan untuk disentuh. Ada baiknya kita orang tua, tidak perlu
meragukan atau membalas dengan cara negatif terhadap keputusan yang diambil
para guru itu.
Guru adalah profesi mulia. Dengan
eksistesisnya itu mereka mengajar memanusiakan
manusia. Mengajar tidak sekedar menyampaikan materi ajar kepada anak didik,
tetapi berusaha untuk merubah sedikit demi sedikit pola dan cara pikir mereka
agar bisa berbeda dengan kebanyakan. Merubah cara berpikir inilah yang paling urgen
bahkan bukan saja tugas para guru di sekolah. Melainkan tugas kita di lingkungan
keluarga juga lingkungan masyarakat.
Sebagian besar para pahlawan
tanpa tanda jasa itu mengabdi tanpa pamrih dan tanpa tuntutan. Mereka akan selalu mendedikasikan
waktu juga tenaga demi kita menjadi pintar, pandai, memiliki ilmu yang
bermanfaat. Mereka membangun karakter anak-anak peradaban tanpa mengaharapkan
apresiasi yang berlebih. Bahkan fakta dilapangan hanya cukup dikasi selembar
sertifikat.
Kita harus mengakui, wilayah
pengabdian mereka tersebar di pelosok-pelosok desa, pedalaman. Jauh dari anak,
istri dan bercengkerama dengan keluarga, kaum
kerabat. Belum lagi imbalan gaji atau tunjangan yang harus mereka terima.
Hampir merata disetiap daerah masih dibawah Upah Minimum Regional (UMR). Tidak
sebanding dengan pengorbanan yang telah mereka persembahkan untuk negeri
ini.
Guru dianiaya oleh para murid
dianggap biasa. Jika murid dianiaya guru
akan jadi heboh. Sebut saja misalnya Ahmad Budi Cahyono, guru SMA 1 Torjun (SMATor), Kabupaten Sampang.
Menurut TribunNews.com, guru honorer yang mengajar melukis pada kelas IX tersebut dicekik oleh salah
seorang muridnya, saat mengajar melukis di teras depan kelas. Pelaku tidak terima
ketika guru Budi melarang untuk
tidak mengganggu temannya
yang sedang. Karena itu, pelaku nekad selain mencekik juga memukul
leher korban hingga akhirnya
guru Budi jatuh tersungkur ke lantai dan meninggal setelah beberapa saat dirawat
di Rumah Sakit.
Memperhatikan nasib guru yang
selalu dianiaya dan dilaporkan secara hukum di negeri ini, adakah kesadaran koleketif kita untuk bersama-sama menyatakan bahwa kejadian
itu yang pertama dan terakhir?
Diklat Guru Jadi Kualitas
Setiap orang mempunyai potensi
yang luar biasa dan berbeda dengan potensi yang dimiliki orang lain. Guru juga
mempunyai potensi yang khas. Potensi itulah harta yang harus terus dijaga dan
dikembangkan secara terus menerus agar pada akhirnya, antara yang berkualitas
dengan tidak berkualitas dapat dibedakan. Demikian pula, terhadap harapan para
pendidik akan anak didiknya, pun sebaliknya para pendidik untuk kita semua.
Banyak program Pendidikan dan
Pelatihan yang telah dikeluarkan Pemerintah Pusat dan Daerah untuk meningkatkan
kualitas guru baik yang berada di kota-kota sebagai pusat informasi maupun
mereka yang berada di pelosok-pelosok desa. Jika dihitung dengan uang, tentu program pelatihan tersebut memerlukan
biaya yang banyak. Itu
semata-semata untuk meningkatkan
kualitas
para guru atau tenaga Pendidik. Karena di era milineal ini,
tuntutan
‘Guru’
harus lebih pintar dari para murid bukan lagi sesuatu
yang bisa ditawar.
Sebagai masyarakat yang
menghendaki kualitas dan kompetensi guru selalu berada pada posisi top, pendidikan
dan pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah harus disukseskan tidak ada
istilah untuk ditolak atau digagalkan. Bahkan program
pelatihan semacam ini bisa dikatakan sebagai program strategis. Walaupun
disadari, saat ini kualitas guru belum meningkat secara optimal, namun
upaya-upaya yang telah dilakukan seperti sertifikasi guru, uji kompetensi dan
melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi melalui program pemberian
beasiswa bagi guru, tidak bisa tidak diakui. Guru yang
berkualitas akan tetap dibutuhkan oleh bangsa
dan negara.
Program-program
seperti disebutkan diatas tetap penting dan mesti terus dilakukan
untuk mengeliminir adanya tudingan terhadap kualitas guru
berikut metode pembelajarannya.
Kualitas guru dan tenaga pendidik kita tidaklah babak belur sebagaimana
tudingan. Masih banyak guru kita yang berprestasi dari tingkat Nasional hingga
tingkat Internasional dengan disiplin ilmu-ilmu exact. Jika saja kualitas
guru dalam pendidikan kita dinilai rendah maka perlu
diperbaiki agar dapat sejajar dengan negara-negara lain, baik secara institusi
maupun kinerja guru itu sendiri.
H.A. Tabrani Rusyan dan H Burhanuddin mengatakan guru akan
menjadi optimal bila diintegrasikan dengan komponen sekolah yakni kepala
sekolah, fasilitas kerja guru, karyawan dan peserta didik. Karena dengan
terintegrasinya berbagai komponen, kualitas guru dalam melaksanakan
pembelajaran akan lebih baik lagi dan hasil pembelajaran akan lebih meningkat.
Adanya harmonisasi komponen dalam
sebuah institusi pendidikan sangat menunjang lahirnya kualitas kinerja para
pendidik. Jadi, akan salah kita, hanya
menuntut kinerja dan kualitas sementara segala perangkat pendukungnya belum
dipenuhi.
Berhasil tidaknya pembelajaran
bergantung pada kualitas guru dalam melaksanakan rambu-rambu yang telah
ditentukan. Guru merupakan faktor terpenting, oleh karena itu harus memiliki
keahlian khusus untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawanya sebagai guru.
Guru
sebagai tulang punggung dalam proses belajar, kata Tabrani harus berkualitas.
Sebagai pendidik profesional harus mampu menunjukan sikap bahwa ia layak
menjadi panutan atau tauladan di
sekelilingnya. Setidaknya, masyarakat akan melihat bagaimana sikap dan
perbuatan guru itu sehari-hari. Adakah yang patut diteladani atau tidak?
Guru Dihajar
Peristiwa penganiyaan
terhadap guru hampir merata terjadi dibeberapa daerah hanya karena persoalan
sederhana. Sejumlah media massa cetak dan online mengangkatnya menjadi berita headline. Misalnya, yang menimpa ibu
guru Astiah, pendidik di SD Gowa Sul-Sel. Sebagaimana diberitakan
detiknews.com, Kamis, 05 September 2019, ibu Astiah dianiaya di dalam ruang
kelas oleh kakak kandung murid Ibu Astiah sendiri. Seluruh murid ikut
menyaksikan saat Wali Kelas itu dianiaya.
Dihadapan penyidik Polres Gowa,
pelaku mengaku tidak menerima kalau adiknya yang berkelahi dengan teman satu
kelasnya itu, dilerai dengan cara dijewer kupingnya oleh ibu Astiah. Hanya
karena tidak menerima perlakuan Wali Kelas, keluarga murid bertindak sendiri.
Kasus Ibu Wali Kelas asal Gowa,
Sul-Sel itu merupakan salah satu dari banyak kasus yang memalukan di negeri
ini. Guru yang harusnya di gugu dan ditiru malah dianiaya dengan nafsu tanpa
peri kemanusiaan. Ditengah gencarnya Pemerintah menaikan harkat dan kualitas
para guru, agar mampu melahirkan murid yang lebih berkualitas malah dihadang
dengan prilaku tidak terpuji dari kita para orang tua murid. Tidak adakah
langkah kekeluargaan yang lebih santun agar persoalannya cepat clear dan tidak
menimbulkan persoalan baru?
Upaya pemerintah mesti didukung
oleh semua komponen masyarakat. Sebab melahirkan guru berkualitas dibutuhkan
waktu dan biaya yang tidak sedikit. Guru merupakan aparatur dan abdi negara.
Secara formal status guru di dalam budaya indonesia masih menempati tempat yang
terhormat. Kedudukan sosial mereka masih dinilai tinggi dalam kehidupan
bermasyarakat.
Semoga kasus yang merendahkan
harkat dan martabat para guru tidak akan terulang lagi di tahun-tahun
mendatang. Masih ada hal positif yang
tersisah. Menurut Tabrani Rusyan dan H Burhanuddin, bahwa masyarakat Indonesia,
khususnya masyarakat pedesaan masih dapat memberikan penghargaan dan status
sosial yang tinggi pada profesi guru. Penghargaan tersebut tentunya perlu
ditindaklanjuti dengan penghargaan yang seimbang dari segi material yang akan
menunjang tugas profesional seorang guru.
Pemerintah sebagai fasilitator memiliki tanggung jawab serta membantu lahirnya saling menghargai antara masyarakat dan guru yang tidak dapat diabaikan dalam membanguan masyarakat Indonesia. Hari ini, sudah saatnya kita mulai melihat guru yang mengajar dengan nyaman, menikmati program Pemerintah untuk memperbaiki kualitas mereka demi mendidik anak negeri dan jauh dari ancaman yang justru merugikan anak didik kita, amin.
Penulis: Dylla lalat
semoga kehidupan guru lebih baik
BalasHapus