Kamis, 17 September 2020

Guru Mengajar, Guru Diajar dan Guru Dihajar

 


Akhir-akhir ini, menjalani profesi sebagai guru, bukan lagi sesuatu yang menyenangkan untuk dilaksanakan penuh khusuk, ikhlas dan kegembiraan. Ancaman akan diadukan secara hukum oleh para orang tua atau keluarga anak didik selalu menghadang. Tentu saja,sikap anarkisme para orang tua itu bukan hanya merugikan para pahlawan tanpa tanda jasa itu, tetapi bisa merugikan anak didik itu sendiri.

Miris,mendidik dengan gaya mencubit, memukul pada bagian yang dibolehkan tetap dinilai salah. Dimata para orang tua menyentuh fisik anak sebagai upaya mendidik atau pembinaan ditafsirkan sebagai tindakan ‘penganiayaan’ yang tentu sangat melanggar etika.

Sebagai guru yang setiap harinya beradaptasi dengan anak didik atau murid, tentu mereka tahu wilayah-wilayah yang dibolehkan untuk disentuh. Ada baiknya kita orang tua, tidak perlu meragukan atau membalas dengan cara negatif terhadap keputusan yang diambil para guru itu.

Guru adalah profesi mulia. Dengan eksistesisnya itu mereka mengajar memanusiakan manusia. Mengajar tidak sekedar menyampaikan materi ajar kepada anak didik, tetapi berusaha untuk merubah sedikit demi sedikit pola dan cara pikir mereka agar bisa berbeda dengan kebanyakan. Merubah cara berpikir inilah yang paling urgen bahkan bukan saja tugas para guru di sekolah. Melainkan tugas kita di lingkungan keluarga juga lingkungan masyarakat.

Sebagian besar para pahlawan tanpa tanda jasa itu mengabdi tanpa pamrih dan tanpa  tuntutan. Mereka akan selalu mendedikasikan waktu juga tenaga demi kita menjadi pintar, pandai, memiliki ilmu yang bermanfaat. Mereka membangun karakter anak-anak peradaban tanpa mengaharapkan apresiasi yang berlebih. Bahkan fakta dilapangan hanya cukup dikasi selembar sertifikat.

Kita harus mengakui, wilayah pengabdian mereka tersebar di pelosok-pelosok desa, pedalaman. Jauh dari anak, istri dan bercengkerama dengan  keluarga, kaum kerabat. Belum lagi imbalan gaji atau tunjangan yang harus mereka terima. Hampir merata disetiap daerah masih dibawah Upah Minimum Regional (UMR). Tidak sebanding dengan pengorbanan yang telah mereka persembahkan untuk negeri ini.    

Guru dianiaya oleh para murid dianggap biasa. Jika murid dianiaya guru akan jadi heboh. Sebut saja misalnya Ahmad Budi Cahyono,  guru SMA 1 Torjun (SMATor), Kabupaten Sampang. Menurut TribunNews.com, guru honorer yang mengajar melukis  pada kelas IX tersebut dicekik oleh salah seorang muridnya, saat mengajar melukis di teras depan kelas. Pelaku tidak terima ketika guru Budi melarang untuk tidak mengganggu temannya yang sedang. Karena itu, pelaku nekad selain mencekik juga memukul leher korban hingga akhirnya guru Budi jatuh tersungkur ke lantai dan meninggal setelah beberapa saat dirawat di Rumah Sakit.

Memperhatikan nasib guru yang selalu dianiaya dan dilaporkan secara hukum di negeri ini,  adakah kesadaran koleketif kita untuk bersama-sama menyatakan bahwa kejadian itu yang pertama dan terakhir?

 

Diklat Guru Jadi Kualitas

Setiap orang mempunyai potensi yang luar biasa dan berbeda dengan potensi yang dimiliki orang lain. Guru juga mempunyai potensi yang khas. Potensi itulah harta yang harus terus dijaga dan dikembangkan secara terus menerus agar pada akhirnya, antara yang berkualitas dengan tidak berkualitas dapat dibedakan. Demikian pula, terhadap harapan para pendidik akan anak didiknya, pun sebaliknya para pendidik untuk kita semua.

Banyak program Pendidikan dan Pelatihan yang telah dikeluarkan Pemerintah Pusat dan Daerah untuk meningkatkan kualitas guru baik yang berada di kota-kota sebagai pusat informasi maupun mereka yang berada di pelosok-pelosok desa. Jika dihitung dengan uang, tentu program pelatihan tersebut memerlukan biaya yang banyak. Itu semata-semata untuk meningkatkan kualitas para guru atau tenaga Pendidik. Karena di era milineal ini, tuntutan ‘Guru’ harus lebih pintar dari para murid bukan lagi sesuatu yang bisa ditawar.

Sebagai masyarakat yang menghendaki kualitas dan kompetensi guru selalu berada pada posisi top, pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah harus disukseskan tidak ada istilah untuk ditolak atau digagalkan. Bahkan program pelatihan semacam ini bisa dikatakan sebagai program strategis. Walaupun disadari, saat ini kualitas guru belum meningkat secara optimal, namun upaya-upaya yang telah dilakukan seperti sertifikasi guru, uji kompetensi dan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi melalui program pemberian beasiswa bagi guru, tidak bisa tidak diakui. Guru yang berkualitas akan tetap dibutuhkan oleh bangsa  dan negara.

Program-program seperti disebutkan diatas tetap penting dan mesti terus dilakukan untuk mengeliminir adanya tudingan terhadap kualitas guru berikut metode pembelajarannya. Kualitas guru dan tenaga pendidik kita tidaklah babak belur sebagaimana tudingan. Masih banyak guru kita yang berprestasi dari tingkat Nasional hingga tingkat Internasional dengan disiplin ilmu-ilmu exact. Jika saja kualitas guru dalam pendidikan kita dinilai rendah maka perlu diperbaiki agar dapat sejajar dengan negara-negara lain, baik secara institusi maupun kinerja guru itu sendiri.

H.A. Tabrani Rusyan  dan H Burhanuddin mengatakan guru akan menjadi optimal bila diintegrasikan dengan komponen sekolah yakni kepala sekolah, fasilitas kerja guru, karyawan dan peserta didik. Karena dengan terintegrasinya berbagai komponen, kualitas guru dalam melaksanakan pembelajaran akan lebih baik lagi dan hasil pembelajaran akan lebih meningkat.

Adanya harmonisasi komponen dalam sebuah institusi pendidikan sangat menunjang lahirnya kualitas kinerja para pendidik. Jadi, akan salah kita,  hanya menuntut kinerja dan kualitas sementara segala perangkat pendukungnya belum dipenuhi.

Berhasil tidaknya pembelajaran bergantung pada kualitas guru dalam melaksanakan rambu-rambu yang telah ditentukan. Guru merupakan faktor terpenting, oleh karena itu harus memiliki keahlian khusus untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawanya sebagai guru.

            Guru sebagai tulang punggung dalam proses belajar, kata Tabrani harus berkualitas. Sebagai pendidik profesional harus mampu menunjukan sikap bahwa ia layak menjadi panutan atau tauladan  di sekelilingnya. Setidaknya, masyarakat akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan guru itu sehari-hari. Adakah yang patut diteladani atau tidak?      

 

Guru Dihajar

            Peristiwa penganiyaan terhadap guru hampir merata terjadi dibeberapa daerah hanya karena persoalan sederhana. Sejumlah media massa cetak dan online mengangkatnya menjadi berita headline. Misalnya, yang menimpa ibu guru Astiah, pendidik di SD Gowa Sul-Sel. Sebagaimana diberitakan detiknews.com, Kamis, 05 September 2019, ibu Astiah dianiaya di dalam ruang kelas oleh kakak kandung murid Ibu Astiah sendiri. Seluruh murid ikut menyaksikan saat Wali Kelas itu dianiaya.

Dihadapan penyidik Polres Gowa, pelaku mengaku tidak menerima kalau adiknya yang berkelahi dengan teman satu kelasnya itu, dilerai dengan cara dijewer kupingnya oleh ibu Astiah. Hanya karena tidak menerima perlakuan Wali Kelas, keluarga murid bertindak sendiri.

Kasus Ibu Wali Kelas asal Gowa, Sul-Sel itu merupakan salah satu dari banyak kasus yang memalukan di negeri ini. Guru yang harusnya di gugu dan ditiru malah dianiaya dengan nafsu tanpa peri kemanusiaan. Ditengah gencarnya Pemerintah menaikan harkat dan kualitas para guru, agar mampu melahirkan murid yang lebih berkualitas malah dihadang dengan prilaku tidak terpuji dari kita para orang tua murid. Tidak adakah langkah kekeluargaan yang lebih santun agar persoalannya cepat clear dan tidak menimbulkan persoalan baru?

Upaya pemerintah mesti didukung oleh semua komponen masyarakat. Sebab melahirkan guru berkualitas dibutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Guru merupakan aparatur dan abdi negara. Secara formal status guru di dalam budaya indonesia masih menempati tempat yang terhormat. Kedudukan sosial mereka masih dinilai tinggi dalam kehidupan bermasyarakat.

Semoga kasus yang merendahkan harkat dan martabat para guru tidak akan terulang lagi di tahun-tahun mendatang. Masih ada hal positif  yang tersisah. Menurut Tabrani Rusyan dan H Burhanuddin, bahwa masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pedesaan masih dapat memberikan penghargaan dan status sosial yang tinggi pada profesi guru. Penghargaan tersebut tentunya perlu ditindaklanjuti dengan penghargaan yang seimbang dari segi material yang akan menunjang tugas profesional seorang guru.

Pemerintah sebagai fasilitator memiliki tanggung jawab serta membantu lahirnya saling menghargai antara masyarakat dan guru yang tidak dapat diabaikan dalam membanguan masyarakat Indonesia. Hari ini, sudah saatnya kita mulai melihat guru yang mengajar dengan  nyaman, menikmati program Pemerintah untuk memperbaiki kualitas mereka demi mendidik anak negeri dan jauh dari ancaman yang justru merugikan anak didik kita, amin.


Penulis:  Dylla lalat


1 komentar:

3W Wujud Nyata Rasa Syukur Kita Saat Pandemi

  Bukan hanya di dunia medis, kita semua juga sudah tak asing lagi dengan istilah 3W, yaitu wajib memakai masker, wajib mencuci tangan serta...