Pandemi Covid19 memberikan dampak yang luar biasa pada semua sisi kehidupan. Salah satu sisi yang berubah adalah daya beli masyarakat yang tentu saja akan berdampak pada pola konsumsi masyarakat. Ketika yang mengalami penurunan daya beli adalah keluarga yang memiliki ibu hamil dan balita ternyata dampaknya serius. Ada ancaman gagal tumbuh anak (stunting) mengintai disana.
Dikutip dari Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan, periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yang meliputi 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi dilahirkan merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan. Apabila mengalami masalah gizi pada periode tersebut, anak akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal atau biasa dikenal dengan stunting.
Dampak dari balita stunting tentu tidak akan langsung terasa saat ini. Dampak yang sebenarnya baru akan terasa di masa yang akan datang. Saat Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia memiliki kemampuan dibawah standar maka kita akan kesulitan. Upaya mengatasi stunting menjadi investasi masa depan.
Sebelum adanya pandemi Covid19 Indonesia sudah berhasil terus menurunkan angka stunting dari tahun ke tahun. Dikutip dari website Badan Litbangkes Kementrian Kesehatan angka stunting pada tahun 2019 sebesar 27,67 persen. Memang masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan angka stunting menurut WHO yang tidak boleh lebih dari 20 persen. Jika kondisi normal dengan segala upaya yang dilakukan maka diharapkan pada tahun 2024 angka stunting turun hanya 19 persen dan 2030 hanya 14 persen. Perubahan tiba-tiba saat pandemi menuntut kita untuk berinovasi mencari upaya lain untuk mencapai tujuan ini.
Berdasarkan rilis BPS per Maret 2020 angka kemiskinan di Indonesia mengalami kenaikan menjadi 9,78 persen. Angka ini naik 0,56 persen (1,63 juta jiwa) terhadap September 2020. Jumlah penduduk miskin di perkotaan mencapai 9,99 juta jiwa sedangkan di pedesaan lebih tinggi yaitu sebanyak 15,15 juta jiwa. Jumlah yang cukup banyak untuk menjadi penyebab meningkatnya resiko stunting.
Penentuan garis kemiskinan oleh BPS dilakukan dengan menghitung kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Pendekatan ini dilakukan dengan pengeluaran dari komoditas makanan dan bukan makanan. Pendekatan pengeluaran makanan dilakukan dengan melihat kemampuan masyarakat memenuhi kebutuhan minimum makanan yaitu sebesar 2100 kalori per kapita per hari.
Berbicara tentang menurunnya pendapatan maka ada dua alternatif solusi bagi sebuah keluarga. Solusi pertama adalah dengan mencari sumber pendapatan baru sedangkan solusi kedua dengan mengoptimalkan pendapatan yang sudah diterima. Optimasi pendapatan yang diterima dapat dilakukan dengan identifikasi pengeluaran yang bisa dikurangi atau dihilangkan.
Berdasarkan hasil susenas Maret 2020 didapatkan komoditas makanan yang memberi sumbangan besar terhadap garis kemiskinan adalah beras. Komoditas ini berkontribusi sebesar 20,22 persen di perkotaan dan 25,31 persen di pedesaan. Hal menariknya adalah kontributor tertinggi kedua adalah rokok kretek filter yang mencapai 12,16 persen di perkotaan dan 10,98 persen dipedesaan. Data ini menggambarkan kebiasaan masyarakat yang ada dibawah garis kemiskinan masih mementingkan rokok. Sebenarnya dengan edukasi dari pemerintah dan lingkungan yang lebih intensif bisa membantu menyadarkan masyarakat tentang bahaya merokok. Para perokok ini dapat mengalihkan pengeluaran yang seharusnya untuk merokok bergeser ke makanan bergizi yang bisa menekan angka stunting pada keluarga yang ada wanita usia produktif dan balita.
Jika dicermati lebih lanjut pandemi menghasilkan dua kelompok rumah tangga yang mengalami resiko stunting. Kelompok pertama rumah tangga yang sudah menjadi sasaran bantuan pemerintah, jika ada kebijakan bantuan khusus untuk mencegah stunting maka akan otomatis mendapatkannya. Kelompok kedua adalah rumah tangga yang sebelum pandemi cukup sejahtera namun terdampak. Kelompok kedua ini tentu belum terdata sebagai penerima bantuan. Kelompok ini juga lebih sulit untuk diidentifikasi namun tetap membutuhkan sentuhan bantuan pemerintah untuk mencegah meningkatnya angka stunting.
Upaya lain yang bisa dilakukan adalah edukasi pada masyarakat tentang ketahanan pangan di keluarga. Beternak unggas, memelihara ikan dan bercocok tanam untuk membantu pemenuhan kecukupan pangan bagi keluarga akan sangat membantu. Kegiatan ini tidak hanya bisa dilakukan di pedesaan, inovasi bercocok tanam juga memungkinkan masyarakat untuk bercocok tanam di perkotaan. Jika inovasi ini dilakukan ditambah dengan pengetahuan keluarga tentang pentingnya gizi bagi 1000 HPK tentu dapat mengurangi ancaman peningkatan stunting. Kecukupan gizi ibu hamil dan balita menjadi prioritas di keluarga saat kondisi perekonomian sedang terpuruk.
Upaya lainnya adalah edukasi tentang stunting dan bahayanya serta upaya pencegahannya. Posyandu bisa menjadi salah satu alternatif yang digunakan. Selama pandemi posyandu dinon-aktifkan dibeberapa daerah. Saat memasuki masa new nomal dapat diikuti dengan mengaktifkan kembali posyandu, tentu saja dengan memperhatikan protokol kesehatan. Adanya posyandu dan kadernya yang paham tentang stunting dapat menjadi deteksi dini kasus stunting di masyarakat sehingga bisa lebih cepat diatasi. Selain itu posyandu dapat kembali aktif untuk memberikan imunisasi sebagai bagian penting dari pencegahan stunting.
Solusi lain yang bisa dilakukan adalah dengan swakarsa masyarakat yang saling peduli. Di lingkungan penulis tinggal ada gerakan membagikan sembako setiap pekan. Kegiatan ini berawal dari Bulan Ramadhan lalu dan berlanjut hingga saat ini. Keluarga yang bisa berbagi menyerahkan sembako kepada panitia yang ada di masjid lalu panitia membungkusnya menjadi paket-paket yang bisa diambil oleh warga yang membutuhkan. Antusias masyarakat ternyata tetap tinggi hingga saat ini, baik yang memberikan sembako maupun penerimanya. Kegiatan ini mungkin bisa menjadi insprirasi di tempat lain. Kegiatan ini memerlukan pelopor yang mau memulainya.
Solusi yang tentu tidak kalah penting tetaplah intervensi pemerintah untuk mencegah peningkatan stunting. Ini harus menjadi perhatian serius, jangan sampai pandemi selesai tapi meninggalkan masalah baru di masa yang akan datang. Penanganan stunting tidak bisa menunggu. Upaya yang tidak serius maka SDM di masa depan adalah taruhannya. Semoga kolaborasi pemerintah dan masyarakat mampu menekan angka stunting di Indonesia.
Penulis: Hardianty
Tidak ada komentar:
Posting Komentar