Sebuah gubuk tempat tinggalku Gubuk Dirik Desa Kawo Kecamatan Pujut namanya. Di sanalah keluarga kecilku tinggal. Aku dilahirkan dari keluarga seorang petani ulung, memiliki empat saudara, tiga perempuan dan satu laki-laki. Keseharianku selalu mengais rezeki di sebidang tanah sawah warisan nenekku bersama Amak dan Inak. Amak panggilan seorang ayah dan inak panggilan seorang ibu dalam bahasa Sasak di Lombok. Amak dan inak tidak pernah lelah dan mengeluh menjadi teladan demi anak-anaknya, dan selalu memberikan contoh kerja keras dan pantang menyerah tidak akan pernah menghianati hasil.
Hasil panen tiap tahun meskipun sedikit tapi sangat berkah, setiap pagi setelah azan zubuh, Amak sudah mempersiapkan diri bekerja di sawah karena Amak menganggap aktivitas di pagi hari itu adalah aktivitas fisik yang sangat bermanfaat untuk kesehatan dan tenaga masih prima dan tidak cepat lelah.
Di jemari tangan dan kaki Amak terlihat kapalan tebal karena tiap hari harus bergelut dengan benda tumpul tapi itu semua dikerjakan dengan ikhlas dan selalu berdoa semua hasil panennya bisa bermanfaat untuk masa depan anak-anaknya. Beliau berharap anaknya kelak bisa lebih baik dengan keadaan sekarang ini.
Dari keluarga petani empat bersaudara, kami selalu akrab, aku sebagai anak sulung sudah mulai menginjak remaja dan sudah menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Aku berkeinginan kuat untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, tapi rasa takut menghantuiku untuk mengatakannya ke Amak, aku harus berpikir panjang untuk mengutarakan niat ingin kuliah. Sampai suatu ketika di ruang tengah lagi berkumpul sambil bersantai aku memberanikan diri untuk mengutarakannya dengan terbata-bata ”Amak aku mau kuliah.”
Tiba-tiba hening sesaat, seisi rumah seakan kaget mendengar apa yang ku utarakan dan mendengar jawaban Amak dengan berkata, “Silahkan, biar Amak tidak punya pekerjaan dan hasilnya tidak menentu selagi kamu punya keinginan, Insya Allah Amak dan Inak siap memperjuangkan kalian demi masa depan kalian”. Satu pesan Amak, ”Jangan pernah permalukan Amak dan Inak serta keluarga kecil kita biar kita miskin tapi akhlak dan sikap terpuji harus selalu dijaga”. Kata-kata itu sangat dalam maknanya bagi saya sebagai seorang perempuan.
Akhirnya saya memberanikan diri, melangkahkan kaki ke sebuah universitas yang terkenal di Mataram untuk mendaftarkan diri sebagai mahasiswa. Alhamdulillah girang tak terkira ketika melihat namaku tertulis di sana sebagai salah satu mahasiswa baru. Bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi di sebuah Universitas Islam di Mataram tepatnya di STAIN Mataram. Sebuah kebanggaan tersendiri bagi seorang anak petani seperti saya. Saya tidak pernah melupakan apa yang menjadi amanah Amak dan Inak, selalu berusaha menjaga nama baik keluarga dengan pergaulan yang islami semaksimal mungkin untuk bisa berhasil walaupun terkadang jatuh bangun. Masih banyak keinginan yang belum tercapai, saya harus menelan pahit getirnya kehidupan untuk mencapai sesuatu, tapi itu tak masalah buatku, karena tekadku sudah bulat untuk meraih mimpi.
Hari berganti hari, tahun berganti tahun, Alhamdulillah tibalah saatnya di tahun 2000, waktu yang ku nanti-nantikan, yang menjadi impian setiap mahasiswa, aku menerima ijazah dalam kurung waktu 4 Tahun 3 bulan, bisa menyelesaikan kuliahku. Amak, Inak dan saudara-saudaraku tak kalah girangnya. Setelah menerima ijazah, aku berusaha memanfaatkan ilmu yang selama ini kudapat di bangku kuliah. Aku mencoba menerapkan berbagai ilmu yang ku dapat di bangku kuliah dengan ikhlas, demi mencerdaskan anak bangsa, sehingga suatu ketika aku menemukan pendamping hidup yang sudah mapan. Tidak berpikir panjang kemudian konsultasi dengan kepala sekolahku tempatku honor, yang dulunya tempat mengenyam pendidikan Sekolah Menegah Pertama di SMPN 2 Pujut.
Dengan saran kepala sekolahku, kumantapkan hati dan melangkahkan kaki mengambil keputusan, membangun keluarga kecil, dengan niat suatu saat bisa membantu Amak dan Inak. Saya ingin meringankan bebannya sehingga adik-adikku juga bisa mengenyam pendidikan yang sama. Setelah ikhtiar dan istikharah mendapatkan jawaban yang tepat akhirmya harus rela hijrah meninggalkan Amak dan Inak serta kampung halaman untuk mengadu nasib di perantauan mengikuti suami ke tempat tugasnya.
Tepatnya tanggal 14 Januari 2002 saya harus meninggalkan kampung halaman untuk membangun keluarga kecil agar bisa menjadi keluarga yang lebih baik dari sebelumnya, dan bertekad untuk bisa mengubah nasib keluarga. Mendapat pendamping hidup baru meninggalkan keluarga yang dari didikan yang sederhana dan penuh kasih sayang.
Sesampainya di rantauan, aku melihat anak-anak desa yang sangat membutuhkan sentuhan ilmu yang haus untuk mempelajari Al-Qur’an. Setelah diskusi dengan suami, kami memutuskan untuk membuka Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), untuk berbagi ilmu dengan anak-anak desa untuk menghilangkan penat kesendirian yang jauh dengan keluarga.
Awalnya sangat menyesakkan dada, jauh dari keluarga besar yang dididik dengan kesederahanaan dari keluarga petani. Namun ku jalani dengan ikhlas. Aku tinggal di perumahan puskesmas berdinding papan depan lapangan. Di sanalah kutemukan kehidupan baru dan keluarga baru, tetanggalah yang dijadikan keluarga. Alhamdulillah sambutan ibu- ibu yang luar biasa yang mengharuskan untuk bertahan.
Suasana desa yang asri dan pohon-pohon yang menjulang membuat hati nyaman, jauh beda dengan kampung halaman. Perbedaan tempat tinggal sekarang harus bisa beradaptasi dengan keadaan. listrik menyala mulai dari 18.00-24.00. Ada hal menarik yang didapatkan tiap malam kami menggunakan lampu teplok. Saat listrik padam karena tidak pernah menggunakan, nyalanya remang-remang menyinari kamar, Karena tidak terbiasa dengan hal itu lampunya dinyalakan besar-besar dan tidak pernah tau efek dari lampu itu. Paginya semua baju yang di gantung hitam, lubang hidung pun tidak lepas dari hitam. Dengan semangat bercerita kenapa semua isi ruangan hitam sambil diketawain itu asalnya dari lampu yang dinyalakan dari lampu teplok.
Dalam membina keluarga tidak semudah yang diharapkan, banyak rintangan dan hambatan dalam menyatukan dua hati yang berbeda karakter yang sebelumnya tak pernah saling mengenal lebih dekat walaupun satu kampung, semua itu dilewati dengan suatu komitmen untuk bisa membangun keluarga yang bahagia.
Dalam perjalanan waktu anak didik di TPA lah yang membangkitkan semangat dan menghilangkan rasa sepi. Tiap sore anak-anak berkumpul di rumah untuk belajar mulai dari bacaan Iqra’ dan Al-Qur’an. Alhamdulillah dengan terbentuknya TPA tersebut di lirik oleh Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) untuk bisa bekerja bersama dalam kegiatan-kegiatan keagamaan sehingga setiap ada kegiatan PHBI di Masjid anak-anak didik kami lah yang selalu tampil.
Kegiatan keagamaan di Masyarakat yang dilaksanakan oleh Kantor Urusan Agama (KUA), saya selalu dilibatkannya karena waktu itu satu-satunya guru agama di kampung tersebut. Jadi semua sekolah umum dari tinggat SD, SMP, SMA belum ada guru Agamanya dan yang bisa terkover adalah sekolah menengah pertama dan sekolah menengah Atas, itu pun saya harus menjalankan aktivitas mulai dari pagi sampai sore hari yang kebetulan Sekolah Menengah Atas (SMA) masuk siang. Namun rasa lelah dan letih tiap hari tidak terasa karena melihat anak didik yang antusias dalam menimba ilmu.
Suatu ketika ada kegiatan Rebana untuk persiapan MTQ, belum ada gendang untuk latihan yang merupakan alat yang dipakai, namun ‘tidak ada rotan akar pun jadi” semua peralatan dapur seperti baskom dipaki untuk latihan . Alhamdulillah walupun anak desa yang terletak di perbatasan, ilmu dan kreativitas tidak akan terbatas.
Setiap sure hari anak-anak sudah berkumpul dengan gayanya yang berbeda-beda, usia Dini yang lucu dan menyejukkan hati membuat lebih tentram dan nyaman. Tidak berhenti di situ aku berusaha mendekati masyarakat untuk membentuk majlis Tak’lim dilingkungan ASN Puskesmas terutama Darmawanitannya yang dilakukan sekali dalam sebulan. Setiap kegiatan Taklim ibu-ibunya sangat antusias dalam kegiatan tersebut Alhamdulillah respons yang luar biasa.
Saya masuk di lingkungan PKK Kecamatan tepatnya di Pokja 1 di sini aku bergelut dengan kegiataan yang sehari-hari begitu bermakna. Dalam kegiataan PKK saya menjadi ketua pokja I dan semua ketua Pokja dilibatkan untuk penyuluhan tepatnya Desa Patal sasarannya minan-mina desa dilaksanakan di balai adat. Kebersamaan tanpa mengenal ras, golongan maupun agama kami bersatu padu disambut dengan menari Samajau bersama-sama yang merupakan ciri khas Tarian Dayak Agabak yang selalu dilestarikan sampai sekarang. Minan itu adalah sebutan ibu bahasa dayak. Minan-minan adalah sasaran pembinaan PKK dengan berbagai macam karya yang bisa dipromosikan dan bernilai harga jual untuk mensejahterakan anggotanya sesuai dengan Mars PKK.
Masyarakat yang kental dengan kebersamaan setiap ada kegiatan masyarakat maupun pemerintahan aku tidak pernah ditinggalkan untuk ikut berperan aktif, ini yang tidak pernah dilupakan sampai saat ini walau sudah hijrah lagi di kota kabupaten Nunukan, anak didikku yang dulu yang nota benenya, lugu dan lucu-lucu hingga sekarang tumbuh dewasa dan sudah banyak yang berhasil, ada jadi bidan desa, guru, perawat dan ada dinas perhubungan, ada juga yang sudah Magister.
Penulis : Siti Nursiah Jamil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar